kisah dua kota

Publié le par macchi


All the enthusiasm and plate glass sophistication nonetheless fail to compensate for a certain competitive edginess in the city’s psyche. After the Australian Federation was created in 1901, the traditional arguing between Sydney and its arch rival, Melbourne, was settled in 1908, by making Canberra the new national capital. Melbourne remained the seat of national government until 1927, when the city of Canberra was completed.

However, Sydneysiders insist that their city remains the ‘true’ capital of Australia and indeed, with a successful hosting of the 2000 Olympic Games, the world might even agree with this. But the rivalry with Melbourne persists, a rivalry based more on style than on stature for, while Sydney is decidedly Anglo in its ethnic orientation, Melbourne is more continental, with a much more evidently imported culture. To Melbourne, Sydney will always be self indulgent and shallow, just as to Sydney, Melbourne will always be grey and intellectual.





Lucu juga yah, pertikaian dingin kedua ibukota negara bagian ter-[makmur, besar, megah] di negeri echidna (lihat foto samping) selama ini tak berkesudahan.

Hingga weekend kemarin.

Melbourne dengan sungai Yarra-nya versus Sydney dengan Harbour plus rumah Opera-nya.

Survei membuktikan … [hey apa kbr Sony Tulung?] Melbourne keluar sebagai sang jawara. Kalau kedua kota ini ibarat manusia, maka Melb adalah wanitu 30’s anggun yang tampak semakin elok, elegan, dan affluent. Sementara Syd adalah gadis muda 20s yang sibuk bersolek setiap saat, berpesta, tapi berkantong tipis karena ia butuh biaya perawatan tinggi.

Surat kabar nasional menyatakan: ibukota negara bagian Victoria dalam kurun se-dekade ini, kini ia lebih makmur, lebih “affordable” terutama mencakup harga properti dan biaya hidup, ekonomi lebih baik, lebih segala-galanya. Label barunya, Melbourne: Australia’s Most Liveable City.


Melbourne

Sedangkan Sydney, si bintang bersinar yang meredup, malah semakin mahal (harga property cuma monopoli mereka yang mampu, benar-benar di luar jangkauan kaum muda yang hendak membeli rumah pertama mereka), ekonomi lusuh yang tengah melesu, pajak yang lebih tinggi dari states lainnya. Semuanya adalah downsides yang membuat Sydney kalah pamor di depan panel.

Bahkan ukuran pertambahan wealth Sydneysiders hanya seperempat dari Melbournians.

Boh …

Gue sendiri baru sekali ke Melbourne dan itu pun cuma selama 8 hari saja. Menumpang di apt si Putu, teman smu dulu yang kini meng-establish-kan dirinya di Melbourne, numpruk di sofa-futon hari demi hari. Kesan pertama gue, ah bagus kotanya, bersih dan jauh lebih hijau, rindang, dan tentram dari Sydney. Apalagi banyak resto Asia yang tampak lebih berkualitas - lebih bersih maksudnya. LOL

Banyak yang berkata, Melbourne adalah kota dengan ambience ter-Eropa sebenua ini. Ia memiliki lebih banyak museum, galeri, dan pusat kebudayaan dibanding kota-kota lainnya. Singkatnya, si wanita elegan tampil chic setiap saat. Plus masalah perpolusian pun sangat terkendali, dari CBD hingga ke suburbnya, terutama electric tram dan kereta menjalar tanpa asap buangan. Belum lagi predikat de facto-nya, ia adalah kota pelajar, pilihan nomor satu students asal Indonesia. Bukan sulap bukan sihir, kemana-mana berjalan di kota ini bisa dipastikan selalu berpapasan dengan students Indonesia atau mereka yang bercakap dalam bahasa republik kita.

Tapi … euh, gimana yah menjelaskannya. Ada faktor Y yang bikin saya lebih memilih kota terbesar di tanah australis ini, Sydney bukan Melbourne. Pertama, mungkin pepatah alah bisa karena biasa, berlaku dalam kasus ini. Semuanya telah akrab di mata dan hati, hampir seperempat hidup saya kini telah bergumul dengan problematika being a Sydneysiders. Plus pantai-pantai ternamanya, seringkali saya mencibir ah kota-kota lain mana punya pantai sebaik Sydney dengan akses sangat mudah, belum lagi saya pun berdiam hanya selemparan batu dari pantai, laut dan kelas surfing (yang sangat memabukkan, ternyata) LOL. Jangan lupakan, pepatah bijak lokal di sini, Melbourne has four seasons in one day. Dan ini benar banget, saya ingat, bulan Oktober di Carlton, seharusnya awal spring, pagi hari saya bangun menggigil, keluar rumah jam 9 sedikit berkabut lalu hujan deras bak daerah tropik, beberapa jam kemudian matahari terik membakar, sorenya ia pun kembali menggoda dengan suasana basahnya.

 
Kesimpulan, saya ragu-ragu kalau harus pindah ke Melbourne hanya untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Better the devil you know, kata mereka. Pun vice versa, penduduk Melbourne tak jarang balas mencemooh kota saingannya, Sydney is way too crowded, a cup of coffee costs twice and the café is less nice, the folks are so trendy bordering to pretentious. Apa ... pretentious, moi? Perasaan gue selalu tampil lusuh dari cafe-goers lainnya, apanya yg pretensius coba.

Voilà … mari bedol desa beramai-ramai ke Melbourne, kamu, aku, dan kita sekalian? heheeee
 

Publié dans australissimo

Pour être informé des derniers articles, inscrivez vous :