Les banlieues parisiennes (funèbres)

Publié le par macchiato

...
 
Argh, ngga tahan. Angkat tangan thdp godaan. Buka mulut. Angkat bicara.
 
Boh ... awalnya gue ngga mau mengomentari akan kerusuhan suburbia Paris. La ville de lumière yg gue kenal ngga sekelam dan seserem itu (err, caca de chien partout, bersampah, dan bau pipis di métro iyah kali). Tapi memasuki malem ke-11, menimpali beragam kecaman dan informasi dari media dlm dan luar Perancis, gue hendak nimbrung dg secuplik perspektif dari .. gue sendiri, seorang non-French yg sok tau akan issues dunia. LOL
 
Dari sisi yg serius, gue mengutip media yg bilang ini kerusuhan paling besar, gempita, serius semenjak protes mahasiswa Paris 1968 yg akhirnya melibatkan 10 juta rakyat (pekerja) Perancis turun ke jalan berdemo; sebagian telah menggulingkan mobil2, membakar ban di jalan, memblokir jalan2 utama, bentrok dg polisi dan menguasai Sorbonne (universitas Paris). Bah ... sayangnya pada epos itu gue bahkan blm menjadi sebuah sperma, pun pengetauan gue terbatas.
 
French penpals gue yg tinggal di kota lain (bukan Paris) seringkali ngingetin sambil mendengus «les banlieues parisiennes elles sont dangereuses, il faut prendre soin toi - hey those suburbs of Paris are dangerous, gotta be careful». Lucunya, gue sendiri ngga pernah terlalu serem, merasa takut saat melanglang ke suburbia Paris. Naïveté seorang turis naif kah? Mungkin.
 
Topografi Paris seperti ini - gue lupa ini idenya siapa, kemungkinan Baron Haussman si bapak modernisasi Paris atao bahkan si Signor Bonaparte sendiri :
 
Paris terbagi atas dua puluh arrondissement. Arrondissement berarti bulet, rounded, something that's round, mulai dari ile de la cité lalu memutar searah jarum jam hingga ke outer Paris. Satu arrondissement mewakili satu distrik dan dikatakan tak ada dua arrondissements berkarakter sama. Gue bukan parisian dan blm pernah netep lama di sana (hu hu hu ...) tapi pernyataan itu ngga jauh dari bener.
 
Le 4è (the fourth arrondissement) dijuluki distrik pelajar krn keberadaan Sorbonne dan le Quartier Latin (aaah... bisa ileran ngebayangin tinggal di Latin Quarter) yg merangkap quarter favorit gue - enticing bgt, aptnya bagus (dan mahal), banyak students berarti banyak night life dan cheap eatery (kebabs, anyone?), toko buku, deket pula ke Pantheon.
 
Le 15è & 16è (the 15th &  16th) yg dibilang borju oleh Parisians sendiri! Apt di sini lebih modern, lebih teratur, intinya daerah residensial ini dipopulasi oleh wanita tua yg tinggal sendiri dan sore hari mengajak jalan poodle mereka untuk hirup udara segar.
 
Le Chatelet  dan Le Marais : the glitz and britz of Paris life. Dulu kala kedua distrik ini sangat seedy sekali. LOL. Sekarangpun masih.




 
Anyhow, sblm gue ngelantur ke mana2, di luar periferi arrondissements ini secara ofisial dianggap «luar Paris» dg ditandai kode pos berbeda.
 
Paris dan suburbia bak dua dunia berbeda. Yg satu kota antik/klasik, yg lainnya kota satelit di mana penduduk tinggal, tidur dan berkomuting ke kota. Yg satu berarsitektur menawan, yg lainnya hanyalah kumpulan gedung2 segi empat dg emperan jemuran terhampar di setiap balkoni. Yg satu mahal, yg lainnya lebih terjangkau.

Pun penghuninya. Secara statistik daerah suburbia didominasi oleh kalangan minoritas Perancis: kaum imigran dan anak2nya. Ini bersangkut paut dg influx imigran berasal dari Afrika utara selepas perang Algeria yg berbondong2 meninggalkan Algeria, Marocco, Tunisia untuk mencari penghidupan di Perancis. Sayangnya mereka undereducated, tidak berketerampilan dan pada ujungnya mereka menempati pemukiman baru di luar kota-kota besar serta mengambil job apapun yg tersedia. Kehidupan ekonomi mereka tidak meningkat dlm kurun 50 taon terakhir. Maka itu, taon ini aja udah dua kali, mereka seringkali jadi korban bila kebakaran menimpa gedung tempat tinggal mereka. Umumnya, satu keluarga berisi beberapa anak menghuni satu apartemen yg kecil. Sumpek dan mematikan.

Sayangnya anak2 imigran ini –yg notabene skrg telah menjadi French citizen – ngga lepas dari lingkaran setan (vicious cycle). Mereka berpendidikan rendah, rentan putus sekolah, ataupun berpekerjaan serabutan. Di beberapa suburbia, tingkat pengangguran bahkan bisa mencapai 40%. Bisa dibayangkan pemukiman padat penduduk, sekelompok pemuda duduk kongkow2 sepanjang hari. Ujung2nya mereka mudah terjerumus meng-komit tindak pidana dan kejahatan kecil lainnya.

Berpuluh2 taon mereka tidak puas dg pemerintah Perancis yg dianggap bukan sajah tidak memedulikan mereka, tapi menganaktirikan dan menjadikan mereka warga negara kelas dua. Jrg sekali ada program politik yg berusaha memfokus ke akar permasalahan sosial mereka. Dan problem ini melaten. Kemarahan terpendam mereka bak api dlm sekam. Tinggal menunggu pemicunya. Dua orang anak muda keturunan Afrika yg kabarnya ‘dikejar polisi’ dan bersembunyi di gardu listrik dan tewas ter-setrum. Malem itu meletus riot pertama di Clichy-sous-Bois.

Seminggu kemudian kerusuhan meluas, bukan saja Paris tapi suburbia Toulouse, Bordeaux, Nice, Nantes, Lille, Rouen terbakar. Ribuan mobil menjadi kerangka gosong, penduduk pun takut untuk keluar.

Politisi dan petinggi Perancis saling jegal mulut, saling menawarkan program solusi mereka. Hingga kemarin sang Presiden, Jacques Chirac, tampil di televisi dan menegaskan “those who sow fear will be arrested, judged, and punished.” Tampaknya kata2 ini belom berbuah. Kerusuhan masih merebak luas. Sarkozy si Internal Minister pun kebakaran jenggot. Oleh pemuda2 suburbs, ia dianggap biang keladi permasalahan dg kecamannya, dan kata2 yg digunakan [ dia gunakan terminologi «racailles» dan «voyous» yg dianggap sgt menghina the supposedly respectable French citizens - those rascals are scum ] dianggap menuai badai bahkan timbul polemik pantaskah seorang Menteri (kandidat presiden taon depan) memanggil warganegara Perancis dg sebutan merendahkan tsb (jajak pendapat Le Nouvel Observateur terakhir bilang 53% warga Perancis TIDAK SETUJU ia menggunakan ungkapan tsb ... boh, voilà).

Dari yg gue baca, pelaku2nya masih berusia muda, bahkan hingga 13 taon. Beberapa dari mereka berkoar «this won’t stop until two police officers die». Beberapa lainnya minta Polisi seharusnya, sejak dulu, menghargai mereka bak citizen lainnya, dg tidak menggunakan ‘tu’ kepada mereka.

*Tu, adalah bentuk panggilan informal. Mungkin sepadan dg «kamu», «elo» dlm bhs Indonesia.

Sedangkan orang2 tua Perancis, menurut gue mrk sgt konservatif, kaku dan tidak peduli thdp fellow citizens mereka, mungkin bisa dibilang left wing, mrk sgt gusar dan mengutuk “where are the parents of these kids, they should take responsibility”, “what are they doing at this wee hours”, “order must be restored, “la republique must take a firm stand”.

Seorang temen gue yg tinggal di Lyon bilang « I can understand the anger of the young (black, immigrant) people. They’ve been marginalised for years and now expressing their massive frustation. » Dan temen gue ini, European French, dia sendiri kala masih di lycée (highschool) seringkali dipalak oleh pemuda berandalan (keturunan Afrika) saat ke dan pulang sekolah.

Saat ini kekuatiran penguasa Eropa adalah kekerasan sporadik ini mulai merambat ke tetangga Perancis. Dua kota di German, beberapa mobil dibakar dg modus operandi yg sama (bom molotov, batu bata, dan gerombolan di malam hari). Pun sama di Brussels (yg banyak resident keturunan Afrika). Tony Blair berkoar, ooo we are different here, we don't have the same level of problem in that respect as in France.

Lalu sebagian pihak dan media Eropa menyoroti kericuhan ini bisa menjadi pangkal terorisme agama - krn pemuda2 etnik/keturunan-Afrika/muslim/minoritas itu bisa dipengaruhi atao terprovokasi oleh organisasi ngga jelas. Saat itu kecenderungannya blm ke arah itu, mayoritas masih setuju ini hanya kekerasan sosial yg menuntut penanganan hati2 dan sensitif thd issue2 kompleks.


 
Bah  ...

Gue cuma sekali dua kali ke daerah suburbia Paris; dan sekeluarnya dari métro disergap oleh gedung2 pemukiman kusam, bitumen abu-abu, toko2 kecil menjual patisserie, dan supermarket2.
 
Pernah sekali, gue diharassed oleh dua begajulan. Dg backpack gede di pundak, gue memberi giveaway seorang turis terlunta2. Dan emang saat itu gue tersesat, hendak mencari alamat tanpa tau tujuan dan serem euy nanya2 (French masih ngepas). Untungnya si Bejo dan Bejoh ngga memalak gue (di kantong semua travel funds gue, LOL, geblek bgt dah) kalo pun gue dipalak gue ngga akan bisa lari kenceng, atao teriak minta tolong, bakal ditolongkah gue ? Boh ... «au secours, aidez moi, aidez moi s'il vous plait». As if.
 
Mereke cuma meng-hassle krn gue turis bertampang Asia yg mudah di-hassle. Yah bagi gue ini cuma insiden kecil. Kali lain, 1 Jan 2004, jam 1 pagi, selesai liat kembang api dari tepi sungai Seine - sekonyong2 setengah juta revellers hendak balik ke rumah masing2 serentak. Dan krn kotanya tertutup buat kendaraan, alternatif tunggal kami cuma métro. Semua pintu masuk ke métro telah penuh, antrian membludak, meruah hinggal merayap ke tepi jalan. Dan kami beringsut senti demi senti. Kecuali untuk sekelompok pemuda parisian. Tanpa malunya mereka menyikut sembari membelah antrian panjang, excusez ... nous passons (excuse us, we're passing through). Putain de merde!
 
Beberapa abad terakhir ini, kata antri, mengantri, barisan, toleransi mungkin belom sempet masuk kamus bahasa Perancis. Ini terbukti lagi saat pertama kalinya gue masuk ke sebuah McDonald's  ( hey shut up, I KNOW, W H A T   W A S   I    T H I N K I N G ! ) di deket Montmartre 18è Paris dan lagi2 gue terkejut saat mendapatkan cuma gue dan sekelompok turis lainnya yg membuat antrian untuk dilayanin. Sisanya, menyemut di counter tak beraturan. Kalo gue orang Inggris, mungkin gue udah spasm serangan jantung kali... he he LOL ^^

ciao ciao gli amici

...

Publié dans affogato

Pour être informé des derniers articles, inscrivez vous :